HARI SENIN HARINYA UPACARA

Pagi itu, Nita menenteng tasnya sambil menggerutu memang sudah menjadi kebiasaannya setiap hari Senin, dia malas upacara, menurutnya selain panas, upacara itu tidak perlu dilakukan satu minggu sekali.

“ Bibi, tolong ambilkan dasi!” Teriak Nita.

“ Iya, sebentar, Bibi ambil dasinya di atas.” Kata Bibi seraya naik ke lantai dua.

“ Cepet ya!” Perintah Nita.

Bunda yang mendengar teriakan Nita segera menghampiri Nita yang duduk di halaman depan.

“ Nita, tidak boleh teriak-teriak begitu.” Kata Bunda.

Nita tidak menjawab, wajahnya terlihat bosan, Bunda sudah tahu kenapa Nita begini, setiap hari senin karena Nita malas upacara.

“ Nita, masih lebih baik upacara seminggu sekali hanya satu jam lagi, daripada zaman dulu, pahlawan kita berperang.” Kata Bunda.

Bibi turun dan membawakan dasi yang diminta Nita, Nita segera memakainya.

“Nita berangkat Bunda!” Pamit Nita lalu mencium tangan Bunda.

“Ya, hati-hati!” Kata Bunda.

Bunda teringat, pada saat Nita duduk di kelas empat, tiga minggu berturut-turut Nita tidak ikut upacara alasannya sakit perut. Sampai pada minggu ke empat Bunda dipanggil ke sekolah. Guru Nita, Ibu Mira khawatir akan keadaan Nita yang sakit terus-menerus, dan bertanya tentang penyakit Nita, akhirnya karena malu Bunda pun harus berbohong, dengan mengatakan bahwa Nita memang mempunyai penyakit Maag.

Nita naik ke mobil dan menuju ke sekolah. Jalanan tidak begitu macet, sehingga Nita lebih cepat sampai ke sekolah. Nita turun dari mobil lalu menuju kelasnya, kelas 6B. Nita duduk di kursinya di bagian tengah. Tidak lama bel tanda anak-anak harus ke lapangan untuk upacara berbunyi. Tetapi Nita tidak menuju lapangan dan menitipkan pesan ke temannya bahwasanya ia sedang sakit sehingga tidak kuat untuk mengikuti upacara.

Biasanya jika upacara sedang berlangsung, Nita menghabiskan waktu di kelas untuk membaca majalah atau komik yang dibawanya dari rumah. Tetapi tidak kali ini ia tergoda untuk mencari bacaan yang menarik di lemari buku kelas. Nita mengaduk semua isi lemari, sampai ia menemukan buku bersampul cokelat tua, kondisinya sudah sangat rapuh, ada beberapa halaman yang robek, debunya yang tebal menempel di semua halaman buku. Nita meniup sampul buku itu untuk melihat judul buku tersebut.

Nitapun membaca judul buku itu.

“ Pengorbanan para Pahlawan.” Ia menggumam. Entah apa yang membuatnya mersa tertarik untuk membaca buku itu maka Nita kembali ke kursinya dan mulai membaca cerita dari buku itu.

“ Dahulu saat zaman penjajahan Belanda, para pahlawan sangat gigih untuk mencoba mengibarkan bendera merah-putih di samping bendera merah-putih-biru. Bahkan harus mengorbankan jiwa raga, mereka berusaha sampai titik darah penghabisan.”

Nita membalik halaman buku itu. Dilihatnya gambar korban-korban peperangan, ada yang sangat mengenaskan, Nita sampai ngeri melihatnya, bahkan ada orang yang di kubur hidup-hidup. Nita selesai membaca buku itu, dikembalikannya buku itu ke lemari.

Ia berjanji besok akan sedikit memperbaiki kondisi buku itu, dan menaruhnya di perpustakaan agar yang lain dapat membacanya.

Nita tersadar akan pentingnya upacara, lagipula upacara belum lama di mulai, ia segera berlari ke lapangan dan berbaris di barisan 6B. Nita merasakan kebanggan tersendiri saat bendera dikibarkan. Para pahlawan yang dulu berjuang pasti senang jika melihat bendera merah-putih berkibar. Terimakasih para Pahlawan.

Tinggalkan komentar